Program biodiesel berbasis campuran 40% minyak sawit (B40) merupakan langkah strategis Indonesia dalam menjaga ketahanan energi nasional, memperkuat hilirisasi sawit, menekan impor bahan bakar fosil, sekaligus mendukung komitmen penurunan emisi. Namun, implementasinya tidak sederhana. Program ini melibatkan banyak kementerian dan lembaga, masing-masing memiliki mandat, prioritas, serta kepentingan sektoral yang kadang tidak selaras.
Tanpa tata kelola koordinasi yang kuat, kebijakan B40 berisiko mengalami keterlambatan, ketidakefisienan distribusi, hingga resistensi dari pelaku industri. Karena itu, harmonisasi regulasi lintas sektor menjadi prasyarat utama agar kebijakan ini berjalan efektif.
Peta Kelembagaan dalam Kebijakan B40
| Kementerian/Lembaga | Peran Utama |
| Kementerian ESDM | Menyusun regulasi energi, penetapan blending mandate, pengawasan distribusi BBM. |
| Kementerian Pertanian | Pembinaan kebun dan produksi TBS, termasuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). |
| Kementerian Perindustrian | Pengembangan kapasitas industri biodiesel dan rantai pasoknya. |
| BPDPKS | Pendanaan insentif selisih harga biodiesel dan pembiayaan penguatan hulu. |
Masing-masing lembaga ini memainkan peran penting, tetapi seringkali bekerja dengan kerangka kebijakan sektoralnya sendiri.
Tantangan: Tumpang Tindih Regulasi dan Bottleneck Tata Kelola
- Perbedaan Prioritas Regulasi
Kementerian ESDM menekankan keamanan supply dan efisiensi energi.
Kementerian Pertanian fokus pada peningkatan produktivitas kebun.
Kementerian Perindustrian menekankan daya saing manufaktur.
Ketika tujuan tidak diselaraskan sejak awal, implementasi menjadi terfragmentasi.
- Standardisasi Produksi dan Mutu Biodiesel
Standar teknis sering mengalami revisi tanpa sinkronisasi antar lembaga, yang dapat membingungkan pelaku usaha dan operator distribusi. - Pendanaan dan Mekanisme Subsidi yang Rumit
BPDPKS memegang peran strategis, tetapi mekanisme penyaluran dana kadang lambat karena birokrasi verifikasi. - Kurangnya Platform Koordinasi Terpusat
Setiap kementerian punya forum koordinasi sendiri, tetapi belum ada pusat pengambilan keputusan lintas sektor yang bersifat binding.
Dampak terhadap Implementasi B40
- Potensi keterlambatan penerapan skala penuh B40
- Ketidakpastian investasi dari pelaku industri biofuel
- Risiko distribusi tidak merata antar wilayah
- Biaya logistik dan produksi menjadi lebih tinggi
Jika bottleneck ini tidak dibenahi, manfaat B40 tidak akan optimal, baik untuk petani sawit maupun industri energi.
Arah Perbaikan dan Rekomendasi Tata Kelola
- Membentuk Badan Koordinasi Nasional B40
Sebuah tim lintas kementerian dengan kewenangan jelas dalam harmonisasi kebijakan dan eksekusi. - Integrasi Basis Data Hulu-Hilir
Data produksi sawit (Ditjen Perkebunan), kapasitas pabrik biodiesel (Kemenperin), dan distribusi energi (ESDM) harus saling terhubung. - Simplifikasi Mekanisme Insentif BPDPKS
Pemangkasan birokrasi untuk memastikan pembayaran dan pendanaan on-time. - Roadmap Jangka Panjang hingga B50/B100
Menyusun rencana pengembangan teknologi dan investasi yang tidak hanya reaktif, tetapi progresif dan terukur.
Kebijakan B40 bukan sekadar program energi, tetapi proyek strategis nasional yang menyentuh aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Karena itu, keberhasilannya sangat bergantung pada tata kelola koordinasi lintas sektor yang solid. Harmonisasi regulasi menjadi kunci agar kebijakan ini tidak hanya berjalan, tetapi juga memberi manfaat maksimal bagi negara, industri, dan petani sawit rakyat.
Baca Juga : Tandarisasi ISPO dan RSPO di Era B40: Menjamin Keberlanjutan Sawit dan Mengahpus Stigma Negatif.