B40 dan Kemandirian Energi: Seberapa Besar Penghematan Devisa dan Dampaknya terhadap Neraca Perdagangan?

Kebijakan mandatori biodiesel menjadi langkah strategis Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada impor solar sekaligus memperkuat stabilitas ekonomi nasional. Program pencampuran bahan bakar nabati dari minyak sawit ke dalam solar—yang telah berkembang dari B20, B30, B35 hingga menuju B40—tidak hanya berorientasi pada energi hijau, tetapi juga berdampak langsung pada neraca perdagangan dan penghematan devisa negara.

Pada tahap B30, penghematan devisa dari penurunan impor solar diperkirakan mencapai USD 7,8 miliar per tahun (sekitar Rp122 triliun) dengan penyaluran biodiesel lebih dari 10 juta kiloliter. Program ini berhasil menekan impor solar secara signifikan dan mengalihkan sebagian besar pengeluaran energi ke dalam negeri melalui industri sawit. Ketika program meningkat menjadi B35 pada 2023, pemerintah menargetkan penyaluran 13,15 juta kiloliter biodiesel dan memproyeksikan penghematan devisa mencapai USD 10,75 miliar (sekitar Rp161 triliun). Implementasi B35 menegaskan korelasi kuat antara kenaikan kadar biodiesel dan berkurangnya impor solar, meskipun tantangan pasokan bahan baku dan infrastruktur distribusi mulai terasa.

Kini, Indonesia bersiap menerapkan B40 dengan alokasi 15,6 juta kiloliter biodiesel pada 2025 dan target ambisius menekan impor solar hingga nol pada 2026. Proyeksi penghematan devisanya mencapai USD 9,3 miliar per tahun atau sekitar Rp147 triliun. Secara kumulatif sejak 2020, kebijakan biodiesel dari B30 hingga B40 telah menghemat devisa sekitar USD 40,7 miliar (setara Rp673 triliun). Penghematan sebesar ini memperkuat neraca perdagangan migas dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, karena pengeluaran impor bahan bakar beralih menjadi nilai tambah di industri domestik.

Dampak ekonomi B40 tidak hanya pada penghematan devisa. Peningkatan konsumsi biodiesel memperluas penyerapan tenaga kerja di sektor perkebunan dan industri pengolahan sawit, sekaligus mendorong investasi di bidang hilir energi. Uang yang sebelumnya digunakan membeli solar impor kini berputar di dalam negeri, memperkuat daya saing industri sawit serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Namun, manfaat tersebut disertai tantangan besar. Kebutuhan CPO dan metanol untuk memproduksi biodiesel meningkat tajam. Jika tidak diimbangi pasokan yang memadai, hal ini dapat mengganggu ekspor sawit mentah dan mengurangi devisa dari sisi ekspor. Selain itu, karena harga biodiesel umumnya lebih tinggi daripada solar fosil, pemerintah perlu menanggung selisih harga melalui subsidi BPDPKS. Beban subsidi ini berpotensi meningkat seiring naiknya kadar biodiesel.

Kebijakan B40 juga harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi dan pangan. Jika terlalu banyak CPO dialihkan ke biodiesel, pasokan minyak goreng dan produk turunan bisa berkurang, memicu inflasi bahan pokok. Oleh karena itu, keberhasilan B40 sangat bergantung pada sinergi lintas sektor, efisiensi distribusi, dan pengelolaan subsidi yang bijak.

Jika dikelola dengan baik, B40 dapat menjadi tonggak penting menuju kemandirian energi nasional. Selain menekan impor solar dan memperkuat cadangan devisa, kebijakan ini menjadikan Indonesia lebih tahan terhadap gejolak harga minyak dunia. Dengan dukungan industri sawit yang kuat dan kebijakan energi yang berkelanjutan, B40 berpotensi menjadi motor utama stabilitas ekonomi nasional dalam dekade mendatang.

Baca Juga : Menimbang Resiko Deforestasi dan Peluang Bahan Baku Alternatif.

Tentang Penulis

afnajayapratama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses