Kenapa B40 Butuh Banyak Tangki dan Kilang yang Lebih Siap? Ini Penjelasannya

Implementasi mandatori biodiesel di Indonesia terus meningkat, dari B30 menuju B35, dan kini menuju B40. Peningkatan angka blending ini tidak hanya soal pasokan FAME, tetapi juga kesiapan infrastruktur hilir—terutama kilang, fasilitas blending, dan tangki penyimpanan. Tanpa peningkatan kapasitas yang memadai, suplai B40 berpotensi menghadapi bottleneck di titik-titik strategis seperti terminal BBM, depot, dan kilang Pertamina.

Analisis ini membahas secara detail kebutuhan investasi untuk memperkuat infrastruktur hilir agar mampu menampung volume B40 yang semakin besar.


1. Proyeksi Kenaikan Volume B40 dan Implikasi Infrastruktur

Dengan B40, konsumsi FAME meningkat signifikan dibanding B35. Proyeksi menunjukkan bahwa kebutuhan FAME dapat bertambah 15–20% secara nasional. Hal ini berdampak langsung pada:

  • Permintaan tangki FAME yang lebih besar,
  • Perlunya penyesuaian kapasitas kilang agar dapat menangani campuran biodiesel dalam volume lebih tinggi,
  • Tambahan fasilitas blending di terminal distribusi utama.

FAME memiliki sifat berbeda dibandingkan solar fosil: lebih higroskopis, sensitif terhadap kontaminasi air, dan memiliki batas stabilitas oksidasi. Karena itulah setiap unit penyimpanan dan blending memerlukan standar khusus.


2. Kebutuhan Kapasitas Tangki Penyimpanan

Peningkatan storage adalah biaya terbesar dalam penyesuaian menuju B40. Setiap terminal BBM perlu memastikan ketersediaan:

a. Tangki Storage FAME

Untuk menjamin kesinambungan suplai, standar umumnya adalah menyediakan kapasitas minimal 15–20 hari stok operasional.
Dengan peningkatan volume FAME di B40, kapasitas tangki perlu dinaikkan sekitar:

  • 20–30% untuk depot kecil-menengah,
  • 40–50% untuk terminal besar seperti Tanjung Priok, Plumpang, Surabaya, dan Balikpapan.

Tangki FAME harus menggunakan material yang kompatibel, dilengkapi sistem heating coil ringan untuk menjaga viskositas, serta sistem water drain yang optimal.

b. Tangki Solar Fosil

Meski porsi solar fosil berkurang, tangki eksisting umumnya tidak bisa langsung dikonversi karena perbedaan karakteristik dan standar kebersihan. Namun sebagian tangki dapat direpowering melalui:

  • Cleaning,
  • Re-coating,
  • Instalasi floating suction.

Konversi ini bisa menghemat investasi hingga 30% dibanding membangun tangki baru.


3. Peningkatan Kapasitas Kilang

Kilang memiliki dua tantangan utama saat implementasi B40:

a. Penanganan Kualitas B40

B40 sangat bergantung pada kualitas FAME. Kilang harus meningkatkan:

  • Sistem filtrasi,
  • Pencampuran homogen,
  • Pengendalian kontaminasi pada pipeline.

b. Modifikasi Unit Blending on-site

Kilang yang sebelumnya memproduksi B30/B35 perlu menambahkan:

  • Inline blending system berpresisi tinggi,
  • Sensor densitas dan viskositas real-time,
  • Sistem kontrol otomatis untuk proporsi 60:40.

Pada beberapa kilang, fasilitas blending saat ini belum mampu mengakomodasi lonjakan FAME hingga 40%. Hal ini berpotensi menambah investasi baru berupa unit blending mandiri atau perluasan fasilitas eksisting.


4. Investasi Fasilitas Blending di Terminal BBM

Sebagian besar kegiatan blending B40 dilakukan di terminal/distribusi akhir. Untuk mengalirkan B40 ke SPBU dan sektor industri tanpa kendala, terminal BBM perlu:

a. Penambahan Skid Blending

Unit blending modern memerlukan:

  • Metering accuracy tinggi (±0,1%),
  • Flow controller otomatis,
  • Keselarasan dengan sistem SCADA,
  • Sistem pencatatan digital sebagai bagian dari ketertelusuran kualitas.

b. Peningkatan Pipa dan Valve

Pipa untuk FAME perlu material yang lebih tahan korosi ringan dan kontaminasi. Beberapa terminal juga perlu jalur pipa terpisah untuk mencegah cross contamination.


5. Proyeksi Investasi

Meskipun angka akan berbeda per terminal, estimasi kasar (skala nasional) meliputi:

  • Pembangunan/konversi tangki FAME: terbesar, mencapai 40–50% total investasi,
  • Unit blending terminal dan kilang: 20–30%,
  • Upgrade jalur pipa & instrumen kontrol: 10–15%,
  • Quality control & lab improvement: 5–10%.

Secara keseluruhan, implementasi B40 berpotensi membutuhkan investasi triliunan rupiah pada infrastruktur hilir, terutama bagi terminal dengan volume distribusi tinggi.


Keberhasilan implementasi B40 tidak hanya bergantung pada pasokan FAME dan kesiapan kilang, tetapi juga kesiapan infrastruktur hilir secara menyeluruh. Peningkatan kapasitas tangki penyimpanan, perluasan fasilitas blending, dan penyesuaian sistem kilang adalah kunci agar transisi ke B40 berjalan lancar tanpa mengganggu pasokan energi nasional.

Dengan investasi yang dikelola secara terstruktur, Indonesia dapat memastikan bahwa program B40 tidak hanya meningkatkan ketahanan energi, tetapi juga mendukung transisi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Baca Juga: Dampak Ekonomi Sawit terhadap Pembangunan Pedesaan: Dari Pusat Ekonomi Baru hingga Transformasi Kesejahteraan.

Tentang Penulis

afnajayapratama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses