Pemerintah Indonesia terus memperkuat komitmen menuju kemandirian energi melalui pemanfaatan biodiesel berbasis minyak sawit. Setelah sukses menjalankan program B30, kini Indonesia bersiap melangkah lebih jauh dengan B40 — campuran 40% biodiesel (FAME) dan 60% solar.
Kebijakan ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan impor minyak, meningkatkan serapan CPO dalam negeri, serta menurunkan emisi karbon. Namun, penerapannya memunculkan beragam respons dari dunia industri maupun masyarakat.
Sektor transportasi besar seperti pertambangan, kereta api, dan perkapalan menjadi fokus utama dalam penerapan biodiesel B40. Masing-masing sektor menghadapi tantangan teknis yang berbeda:
1. Pertambangan
Industri pertambangan mengandalkan alat berat dengan mesin diesel berkapasitas besar. Kandungan FAME tinggi pada B40 dapat memicu penyumbatan filter bahan bakar dan penurunan kestabilan oksidatif, terutama di suhu ekstrem. Diperlukan standar baru dalam perawatan mesin dan sistem filtrasi untuk menjaga performa alat berat tetap optimal.
2. Kereta Api
PT KAI bersama lembaga riset telah menguji penggunaan B40 pada mesin lokomotif. Hasil awal menunjukkan potensi efisiensi dan pengurangan emisi. Namun, masih terdapat kekhawatiran terhadap residu bahan bakar dan kestabilan penyimpanan jangka panjang. Kolaborasi dengan produsen mesin dan lembaga sertifikasi menjadi penting untuk menjamin keandalan operasional.
3. Perkapalan
Penerapan B40 di sektor maritim menghadapi tantangan besar karena kondisi laut yang lembap dapat mempercepat oksidasi biodiesel. Kapal dan pelabuhan perlu menyesuaikan sistem penyimpanan bahan bakar dan material tangki agar tidak terjadi penurunan kualitas. Tanpa standar teknis yang jelas, potensi gangguan pada mesin kapal bisa meningkat.
Dari sisi masyarakat, reaksi terhadap B40 cukup beragam. Sebagian besar mendukung langkah ini sebagai upaya menuju energi hijau dan penguatan ekonomi sawit nasional. Namun, masih ada kekhawatiran mengenai harga dan ketersediaan bahan bakar, khususnya di wilayah luar Jawa yang sebelumnya menghadapi kendala distribusi B30.
Masyarakat juga mempertanyakan potensi kenaikan harga solar campuran akibat biaya produksi biodiesel yang lebih tinggi. Meski pemerintah berkomitmen menjaga stabilitas harga melalui dukungan BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), transparansi kebijakan dan keandalan pasokan tetap menjadi faktor penentu kepercayaan publik.
Menuju Transisi Energi yang Inklusif dan Berkelanjutan
Keberhasilan penerapan biodiesel B40 tidak hanya bergantung pada kesiapan teknis, tetapi juga sinergi lintas sektor. Pemerintah perlu memperkuat infrastruktur distribusi, sementara industri harus menyesuaikan teknologi mesin agar kompatibel dengan kadar biodiesel yang lebih tinggi.
Selain itu, edukasi publik mengenai manfaat lingkungan dan ekonomi dari biodiesel perlu terus digencarkan. Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, pelaku industri, dan konsumen, B40 dapat menjadi tonggak penting menuju energi bersih, berdaulat, dan berkelanjutan bagi Indonesia.
Baca Juga : Sertifikasi ISPO dan RSPO bagi Petani Sawit Rakyat: Tantangan, Manfaat, dan Arah Menuju Sawit Berkelanjutan.