Kelapa Sawit dan Isu Perubahan Iklim: Dari Penyerapan Karbon hingga Pemanfaatan Biogas POME

Isu perubahan iklim menjadi salah satu tantangan global terbesar abad ini. Berbagai sektor, termasuk pertanian dan perkebunan, dituntut untuk berkontribusi dalam menekan emisi gas rumah kaca (GRK). Salah satu komoditas yang sering disorot adalah kelapa sawit—tanaman tropis penghasil minyak nabati terbesar di dunia. Meski kerap dikaitkan dengan deforestasi, faktanya kelapa sawit juga memiliki potensi besar dalam mitigasi perubahan iklim, terutama melalui penyerapan karbon dan pemanfaatan limbahnya menjadi sumber energi terbarukan.

Penyerapan Karbon oleh Tanaman Sawit

Tanaman kelapa sawit merupakan penyerap karbon (carbon sink) yang efisien. Dalam siklus hidupnya, sawit menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer untuk proses fotosintesis, lalu menyimpannya dalam bentuk biomassa batang, pelepah, dan tandan buah segar. Penelitian menunjukkan bahwa perkebunan sawit mampu menyerap hingga 64 ton CO₂ per hektar per tahun, terutama pada masa produktifnya.

Selain itu, perkebunan sawit yang dikelola secara berkelanjutan dapat berfungsi layaknya “hutan agroindustri”, menjaga tutupan vegetasi dan mencegah degradasi lahan. Sistem replanting (peremajaan) yang baik juga membantu mempertahankan kemampuan lahan menyerap karbon dalam jangka panjang. Dengan demikian, jika dikelola dengan prinsip keberlanjutan (seperti standar ISPO atau RSPO), sawit dapat menjadi bagian dari solusi mitigasi iklim, bukan sumber masalahnya.

POME dan Potensi Biogas untuk Mengurangi Emisi Metana

Salah satu sumber utama emisi gas rumah kaca dari industri sawit adalah limbah cair kelapa sawit, yang dikenal dengan POME (Palm Oil Mill Effluent). Secara alami, POME mengandung bahan organik tinggi yang, bila dibiarkan membusuk di kolam terbuka, akan menghasilkan gas metana (CH₄) — gas rumah kaca yang memiliki potensi pemanasan global 25 kali lebih besar daripada CO₂.

Namun, dengan teknologi pengolahan biogas, POME justru bisa menjadi sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Melalui sistem anaerobic digester, metana yang dihasilkan dari fermentasi limbah dapat ditangkap dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik biogas (PLTBg) atau untuk menggantikan bahan bakar fosil di pabrik kelapa sawit. Langkah ini tidak hanya mengurangi emisi metana secara signifikan, tetapi juga membantu efisiensi energi di sektor perkebunan.

Beberapa perusahaan di Indonesia telah membangun instalasi biogas dari POME dan mampu menghasilkan listrik yang disalurkan ke jaringan PLN atau digunakan secara internal di pabrik. Ini menjadi bukti bahwa pemanfaatan limbah sawit dapat mendukung transisi energi bersih sekaligus memperkuat komitmen Indonesia terhadap Net Zero Emission 2060.

Menuju Perkebunan Sawit Rendah Emisi

Peran kelapa sawit dalam isu perubahan iklim bersifat dua sisi: bisa menjadi penyebab maupun solusi. Tantangannya adalah memastikan seluruh rantai pasok kelapa sawit — dari kebun hingga pabrik — menerapkan praktik rendah emisi dan efisien energi. Inovasi seperti pemetaan karbon lahan, reforestasi di area penyangga, penggunaan pupuk ramah lingkungan, dan pengolahan POME menjadi biogas merupakan langkah-langkah konkret menuju industri sawit yang berkelanjutan.

Dengan dukungan regulasi, insentif, serta kesadaran pelaku usaha dan petani rakyat, industri kelapa sawit Indonesia dapat bertransformasi menjadi penggerak ekonomi hijau yang tidak hanya menghasilkan devisa, tetapi juga turut menjaga keseimbangan iklim global.

Baca Juga : Kesiapan Infrastruktur dan Mesin : Menghadapi Tantangan Teknis Implementasi B40 di Indonesia.

Tentang Penulis

afnajayapratama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses