Indonesia berada di persimpangan jalan dalam merumuskan kebijakan energi dan perdagangan. Negara ini berambisi menerapkan program biodiesel B50 pada tahun 2026 sambil tetap menjaga performa ekspor, khususnya setelah negosiasi dagang dengan Amerika Serikat.
Di dalam negeri, implementasi kebijakan biodiesel terus digenjot. Kementerian ESDM telah mengalokasikan 15,6 juta kiloliter (KL) biodiesel untuk tahun 2025 seiring dengan peningkatan mandatori menjadi B40. Paralel dengan itu, studi teknis untuk B50 pada tahun 2026 sedang berjalan.
Untuk mencapai target B50, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) menyatakan bahwa kapasitas produksi biodiesel perlu ditingkatkan sekitar 4 juta KL. Oleh karena itu, peningkatan output Crude Palm Oil (CPO) sangat krusial untuk memastikan pasokan bahan baku biodiesel di dalam negeri tetap terjaga.
Keseimbangan Ekspor dan Kebutuhan Devisa
Terdapat ketegangan kepentingan antara kebutuhan devisa untuk mengimbangi paket belanja impor dari AS dan dorongan peningkatan ekspor, termasuk minyak sawit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia pada Juni 2025 mencapai USD 23,44 miliar, meningkat 11,29% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Lonjakan ini didorong oleh kenaikan pengiriman lemak dan minyak nabati (termasuk CPO) sebesar 22,05%, serta emas yang melonjak lebih dari 100%. Ini menunjukkan bahwa nilai ekspor dapat terus meningkat meskipun volume pengiriman bulanan berfluktuasi, karena faktor harga komoditas dan pergeseran pasar memainkan peran penting.
Penyesuaian Fiskal dan Dilema Pendanaan
Di sisi fiskal, pendanaan program biodiesel sedang diatur ulang. Kementerian Keuangan dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) telah menyesuaikan pungutan ekspor CPO menjadi 4,5%–10% dari harga referensi, naik dari sebelumnya 3%–7,5%.
Langkah ini bertujuan memperkuat kas BPDPKS untuk menutupi selisih harga antara CPO dan solar dalam program biodiesel. Namun, penyesuaian ini berpotensi menambah beban biaya produsen hulu, terutama saat harga CPO tinggi. Jika ekspor ditahan demi pasokan domestik untuk B50, penerimaan dari pungutan ekspor juga bisa menurun, menciptakan dilema antara menjaga ketahanan energi dan mempertahankan ruang fiskal.
Strategi Menjaga Keseimbangan
Menjaga keseimbangan antara kepentingan ekspor dan ketahanan energi domestik menjadi tantangan utama bagi sektor sawit. Salah satu strategi yang dapat dipertimbangkan adalah menerapkan skema pungutan (levy) yang bersifat counter-cyclical. Artinya, pungutan dinaikkan saat harga CPO tinggi untuk memperkuat pendanaan program biodiesel, dan diturunkan saat harga melemah.
Selain itu, percepatan penerapan sistem ketertelusuran (traceability) juga krusial untuk mengantisipasi kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang akan berlaku bertahap mulai akhir 2025 hingga 2026. Upaya ini akan membantu menjaga akses pasar global sekaligus memastikan keberlanjutan industri sawit nasional. Dengan demikian, Indonesia dapat memaksimalkan peluang ekspor tanpa mengorbankan agenda ketahanan energi dan transisi yang telah lama disiapkan.
Baca Juga : Bioavtur Dari Kelapa Sawit : Melambungkan Penerbangan Berkelanjutan Di Indonesia.