Sudah jadi rahasia umum Uni Eropa sangat getol membuat regulasi yang merintangi ekspor kelapa sawit. Dalihnya selalu karena industri kelapa sawit sebagai dalang deforestasi. Dalam upaya penjegalan produk sawit tersebut, European Union Forest Observatory (EUFO) menggunakan Global Forest Map (GFM) sebagai peta tematik atau tool yang memuat data hutan di seluruh dunia. Namun, apakah GFM andalan mereka itu akurat?
Dituding deforestasi, Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Peta tematik GFM dianalisis dan dibandingkan dengan peta tematik Sistem Monitoring Hutan Nasional (SIMONTANA) yang dikelola Kementerian LHK. Hasilnya cukup mengejutkan, informasi yang dimuat GFM ternyata layak diragukan. Terdapat inaccuracy / overestimating pada GFM yang mengklaim berlebihan jumlah tutupan hutan di Indonesia. Padahal objek-objek yang diidentifikasi oleh GFM sebagai tutupan hutan itu sama sekali bukan hutan.
Sebagian objek itu faktanya adalah berupa semak belukar, lahan pertanian, perkebunan, bahkan perairan tawar. Kekeliruan data GFM yang menunjukkan adanya tutupan hutan antara lain pada Danau Rawa Pening di Jateng, beberapa ruas jalan di DKI Jakarta, perkebunan kopi rakyat di Bali, hingga lahan-lahan sawah di banyak tempat, dan lain sebagainya.
Kenyataan bahwa perangkat tinjau yang digunakan Uni Eropa tidak akurat dapat menjadi celah bagi Indonesia untuk menghadapi European Union Deforestation Regulation (EUDR). Indonesia berbekal database hutan yang lebih baik dapat mendesak Uni Eropa untuk meninjau kembali definisi dan metode yang digunakan dalam GFM, sehingga dapat dicapai pemahaman yang sama terkait definisi hutan, batas hutan, tutupan hutan dan bahkan definisi deforestasi itu sendiri.
Perbedaan soal konsep hutan telah memantik berbagai perdebatan dan pandangan yang relatif tajam, khususnya antara negara penghasil minyak nabati (khususnya sawit) dengan Uni Eropa. Cara pandang Uni Eropa terhadap sawit juga perlu digeser, mengingat sawit bukanlah faktor utama penggerak deforestasi di muka bumi ini. Kedua belah pihak sudah waktunya untuk duduk bersama kembali untuk mencari jalan tengah, agar dapat mencapai kesepakatan baru dalam memandang sawit secara lebih bijak.
Di atas itu semua, diharapkan kedua belah pihak juga menjunjung tinggi fairness dalam perdagangan minyak nabati di pasar global. Konsep menang-kalah pada hakekatnya hanya akan memberikan dampak buruk.
Baca Juga : Biodiesel Strategi Peta Jalan Ketahanan Energi.