Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memaparkan setidaknya terdapat 6 dampak negatif dari rencana kenaikan pungutan eksopr (PE) minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) pada 2025, demi menyokong ambisi mandatori biodiesel B40.
Rencana kenaikan PE CPO dari 7,5% menjadi 10% pada tahun depan justru akan kontraproduktif terhadap daya saing ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya. Subsidi biodiesel juga memiliki dampak terhadap distorsi perekonomian, dengan enam alasan.
Program dan subsidi biodiesel melalui dana PE yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak efisien karena sarat kepentingan produsen CPO besar yang ingin meningkatkan surplus produsen melalui subsidi biodiesel.
Kebijakan biodiesel akan berdampak pada penghematan subsidi energi karena mengurangi alokasi dana APBN untuk subsidi minyak solar. Akan tetapi, hal yang sering terlewatkan oleh pemerintah dalam melakukan perhitungan subsidi ini adalah bahwa biodiesel juga memperoleh insentif, yang bentuknya mirip dengan subsidi.
Pengalokasian sumber daya melalui subsidi biodiesel dapat mengurangi alokasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas sawit.
Hal ini dapat terlihat pada belanja pengembangan sawit berkelanjutan yang tersisihkan. Isu utama pada jangka panjang adalah dampak lingkungan akibat penurunan produktivitas lahan sawit.
Peningkatan konsumsi CPO untuk energi melalui program biodiesel mulai meningkat dan melebihi konsumsi untuk pangan (minyak goreng). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor CPO secara nilai per November 2024 mencapai US$2,09 miliar alias anjlok 11,76% secara bulanan, meskipun naik hanya 2,24% secara tahunan.
Secara volume, Gapki mendata ekspor CPO dan produk turunannya sepanjang Januari—September 2024 mencapai 2,16 juta ton atau merosot dari realisasi sebanyak 2,38 juta ton pada rentang yang sama tahun lalu.
Baca Juga : Implementasi Bertahap Biodiesel B40 Di Tahun 2025.