Pemerintahan baru yang akan dilantik pada 20 oktober mendatang menetapkan target yang tinggi yaitu mewujudkan bahan bakar ramah lingkungan B100. Langkah ini merupakan bentuk penguatan program unggulan kementrian pertanian. Yang belakangan ini menuai kontroversi karena selain memiliki dampak ekonomi yang positif namun juga diduga karena tata kelola lahan yang salah menjadi kan dampak lingkungan terutama hutan.
Dalam mewujudkan biodiesel B100, pemerintah memiliki tantangan dalam pemenuhan bahan baku utama yaitu minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil / CPO). Produksi minyak sawit di tanah air sekarang ini mencapai 50 juta ton, masih kurang 43 juta ton lagi jika B100 akan diterapkan.
Sehingga upaya peningkatan produksi CPO sangat wajib dilakukan. Seperti dengan peningkatan produksi per hektare nya dengan cara peremajaan sawit yang sudah tidak terlalu produktif dan juga penambahan lahan perkebunan sawit tentunya dengan memperhatikan tata kelola lahan sehingga tidak mengorbankan hutan.
Selain itu, kemajuan teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan sawit. seperti dengan reasearch untuk bibit unggul, teknologi dalam bidang agronomi seperti manajemen akar, dan peningkatan infrastruktur seperti jalan sehingga mempermudah petani dalam menjangkau dan mengawasi perkebunannya.
Dengan tata kelola yang terstruktur dan baik, realisasi biodiesel B100 bukan hanya mimpi lagi melainkan menjadi visi yang akan digapai pada masa depan.
Baca Juga : Program Biodiesel Indonesia Membutuhkan Regulasi Khusus.